Jumat, 24 Juli 2009

Mbah Kromo

MBAH KROMO

Hari saptu jam 8 malam ada dering tilpon dari Saudara sepupu di kampung Pundung Delanggu Klaten. “Mas ada lelayu mbah Kromo meninggal dan dimakamkan besuk minggu sesudah solat duhur kira-kira jam 1 siang, kalau ke sana melayat mampir ke rumah ya kami bertiga mau ikut nunut ke sana”. Ya jawabku besuk aku ke sini jam 9. Jogya Pundung memang tidak jauh hanya 50 km dan ditempuh dengan mobil kijang buatan tahun 87 kira-kira 90 menitan. Minggu seperti direncanakan kami berangkat melayat mbah Kromo. Di mobil kami bertujuh dan dalam perjalan menuju tempat pelayatan kami berbincang macam-macam termasuk tentang siapa seberarnya mbah Kromo itu. “Oh mbah Kromo 81 tahun nama lengkapnya Kromo Sumodihardjo ditulis dengan ejaan lama. Orang tua yang meninggal itu memang terkenal di desanya dengan nama mbah Kromo karena istrinya banyak cerai kawin cerai kawin dan anaknya juga banyak, kata orang sana 23 orang anak dan sekarang sudah beranak pinak artinya mbah Kromo sudah punya cucu dan cicit bahkan cicit mantu. Perjalanan mobil agak pelan karena ada perbaikan jalan Yogya – Solo ada proyek penggantian aspal. Perbincangan tidak ada hentinya karena kami bertujuh lima di antaranya perempuan. Soal ngomong perempuan memang hampir tidak ada hentinya dan topik omongan macam-macam tentang pakaian, rok, kebaya, lifstick dan lain-lain ditambah selingan membicarakan orang lain, rumor dan gosip bahkan membicarakan proyek ganti aspal juga.

Dari cerita tentang mbah Kromo yang istrinya sering ganti dan yang baru saja meninggal orang berpikir mungkin mbah Kromo pada jaman mudanya adalah pria tampan anak orang kaya. O iya memang dia anak orang kaya, dogdengnya kampung itu. Tapi kan namanya bukan Kromo Sumodihardjo tho?. O iya nama mudanya Bambang Edi Lukito. Dan ketika dia kawin dengan Surtilah istri pertamanya dia milih nama tuanya Kromo Sumodihardjo. Memang pada umumnya orang Jawa yang sudah beristri ada tambahan nama tua, persis seperti Bambang Edi Lukito menjadi Kromo Sumodihardjo. Ada benarnya menambah nama tua, sebab kata bapakku nama tua disiapkan kalau besuk umurnya sudah banyak dan punya banyak cucu. Jadi kalau cucunya memanggil kakeknya dengan sebutan mbah Kromo lebih pantas dari pada dipanggil mbah Bambang atau mbah Edi. Nama anak orang Jawa sekarang macam-macam ada nama Kristin, Prisilia, Evi, Joana, Julia, Junia, Septia, Novi, Edy, dan lain-lain. Seandainya mereka setelah kawin tidak ada tambahan nama tua dan sudah bercucu 20 lebih apakah tetap dipanggil mbah Evi, mbah Prisilia atau mbah Kristin dan seandainya tetap dipanggil mbah Kristin atau mbah Prisilia orang akan berpikir ini pasti eyang yang genit sekali.

Jam 10.45 kami tiba di tempat pelayatan, kami menyalami keluarga yang berduka mengucapkan ikut berduka cita dan para pria langsung ikut menyolatkan jenasah mbah Kromo. Ibu-ibu juga menyalami keluarga selain jabat tangan juga tempel pipi kiri kanan, selain memasukkan amplop kecil mengikuti tempel pipi kiri kanan pejabat yang sering kita lihat di televisi. Tidak lupa memasukkan amplop isi uang duka di pintu gerbang rumah mbah Kromo ya ikut meringankan beban penderitaan istri, anak, cucu dan cicit yang ditinggalkan.

Di depan kami duduk ada dua ibu pelayat mbah Kromo yang berbincang tanpa henti, namanya Tuminah dan Surtijem. Umurnya 70-tahunan. Perbincangan kedua orang itu nampak sangat asik karena selalu ada senyum dan tawa cecikikan diakhir perbincangannya. Aku duduk persis di belakang kedua ibu tua itu dan dengan sendirinya ikut mendengar apa yang diomongkan. Ternyata kedua ibu itu pernah menjadi pacar mbah Kromo pada waktu muda. Dia tidak mau memanggil mbah Kromo tapi mas Bambang dan satunya seneng memanggil mas Edi. Bu Tum bercerita banyak tentang mas Bambang. Pernah diboncengkan dengan sepeda ontel dari rumah ke Tirnonadi Solo dan balik ke rumah lagi pada hal jaraknya 20 km sekali jalan. Walaupun terengah-engah mas Bambang tetap bersemangat menggenjot sepedanya. Mas Bambang capek ya ? tanya Tuminah. O enggak jawab mas Bambang walaupun bu Tuminah mendengar nafas mas Bambang terengah-engah tapi karena demi cinta capek sama sekali tidak dirasakan. Surtijem tertawa mendengar cerita Tuminah dan Surtijem tidak mau kalah dengan cerita suka cita kasmaran Tuminah dengan mas Bambang. Bayangkan Tum, aku dibonceng ke Cokro Tulung jalannya agak naik dia juga tidak mengeluh kecapekkan dan ketika di Cokro mbah Edi keadaan sepi dia berani meng..... Meng.... apa tanya mbah Tum. Anu ... dia mengecup pipiku padahal nafasnya masih kalang kabut. Tapi rasanya khok nikmat ya dikecup oleh pria yang dicintai. Mbah Tum dan mbah Sur tertawa bareng. Oh anu sudah dengan cerita ketika mas Bambang kawin dengan Rumiyatun padahal umur Rumiyatun baru 13 tahun. Baru 2 atau 3 hari umur perkawinannya, Rumiyatun pulang ke rumah ibunya dan nangis, ketika ditanya ibunya ada apa khok nangis, katanya tidak bisa tidur sebab kalau tidur mbah Kromo selalu ngitik-ngitik (mengelitik) terus. Kata orang, cinta dapat mengalahkan segalanya bahkan lewat hutan kebakaranpun pasti sanggup.

Kalau ada orang yang naik sepeda ontel merek Gazelle pada zaman dulu mungkin akan sama bangganya dengan naik sepeda montor merek HD pada zaman sekarang ini. Tuminem dan Sartijem masih terus berbincang tentang mbah Kromo. Wah dia sekarang terbaring kaku ya ndak bisa bergaya ya. Dulu tanggannya nggratil (usil) nggak pernah berhenti senggal senggol gadis desa. Bahkan gadis luar desapun mengenal siapa mbah Bambang atau mbah Edi, buktinya ada Rukmini yang telah berumur 72 tahun yang juga ikut melayat. Mbah Rukmini masih perawan sampai sekarang tidak mua kawin karena putus cinta dengan mbah Edi. Dia setia menunggu dudanya. Tapi begitu mbah Edi cerai, dia mengawini perempuan lain.

0 komentar:

About This Blog

  © Blogger template 'Ultimatum' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP